K
|
etika udara
malam mulai menusuk sanubari, kupejamkan mata dan menganbil udara sebanyak
mungkin sampai paru-paru terasa penuh dengan udara…
Dan sebuah
ingatan akan sosok laki-laki tua di masa laluku, seorang lelaki tua berambut
putih bertubuh kurus duduk di ranjang dekat jendela, entah sudah berapa lama ia
habiskan waktunya untuk duduk di ranjang tua dekat jendela itu.
Yaah dia adalah
kakekku, ayah dari ayahku…
Saya tak tau
pasti sejak kapan beliau mengalami lumpuh di kedua kakinya yang jelas setau
saya sejak saya lahir keadaannya memang
sudah seperti itu, dari pagi hingga pagi lagi beliau hanya duduk dan tidur di
ranjang itu. Berteman kursi kayu disebelahnya dan sebuah selimut bermotif
garis-garis hitam favoritnya.
Pagi hari beliau
bangun biasanya dibangunkan oleh saudara sepupu saya yang notabennya adalah
cucunya, bernama jelas Jennita Diah P. Beliau tidak seperti kebanyakan manula
ainnya yang mengawali pagi harinya dengan olah raga kecildi depan pekarangan
rumahnya, melainkan beliau duduk di ranjang tua nya dan menikmati segelas kopi
atau the buatan istrinya yaitu nenek saya.
Nenek saya
pernah bercerita kepada saya bahwa dahulu kakek saya sangat tampan dikalangan
jejaka lain di kampungnya. Senang saya mendengarnya karna saat itu saya masih
kecil yaaah hanya melonjak dan tertawa. Banyak cerita yang diceritakan kala
itu, namun tak sebanyak yang diceritakan saat itu yang saya ingat. Sesal…
kenapa saat itu saya tak menggunakan alat perekam ketika nenek saya sedang
bercerita? (haaaalaah abaikan :D )
Waktu menunjukan
jam 8 malam diwaktu itu dimana anak seusia saya sedang membuka-buka buku untuk
mempersiapkan peajaran esok hari, dan melihat adakah sebuah pekerjaan yang
diberikan guru untuk saya, dan ternyata ada. Sebuah PR BAHASA JAWA yang seingat
saya tentang pewayangan itu. Saya belajar ditemani orang tua saya tentunya.
Bertanya jika tidak bisa menjawab kepada bapak saya yang kata nenek saya
termasuk “murid pintar dikelasnya” namun “bandel dan mala situ” ( gak perlu
dibahas :p )
Semua soal
terjawab namun ada satu soal yang nampaknya saya dan bapak saya tak bisa
menjawab, bapak saya menuruh saya bertanya kepada kakek saya. Dan benar saya
jalan menuju ranjang tuanya dan bertanya tentang soal itu. Tak perlu pikir lama
beliau langsung menjawab dengan lantang dan PD-nya. Bahagianya saya saat itu…
Ketika di
periksa guru dan jawabannya benar ohh leganya…
Setiap sang
mentari mulai turun dan derajat panas dibumi mulai turun suhunya, saya pun
segera menghampiri kakek saya untuk segera mengganti bajunya atau hanya sekedar
mengancingkan bajunya. Itu terkadang saya lakukan ketika saya sedang dirumah
dan tidak sedang berlari-lari bersama teman sebaya di lapangan depan rumah. Kakek
menghabiskan sisa umurnya di sebuah ranjang tua. Hingga sampai dirinya kembali
kepada Yang Maha Kuasa...
Hidup beliau
memang sulit dengan hanya duduk dan tidur di ranjang tua yang menurutku sangat
membosankan jika dibandingkan dengan berlari-lari dan bermain petak umpet
bersama teman-teman di hari menjelang sore.
Namun beliau
tetap kuat, tabah dan selalu memberikan nasehat positif kepada saya bahwa harus
patuh kepada Allah yang beliau sebut
“Gusti Allah”.
Walaupun beliau sudah tidak
disini bersama saya, namun sebuah kenangan akan terus terukir indah disini
“dihati saya”.
HENNY CHANDRA PD